Para preman mafia tambang benar-benar sadis menyiksa Salim alias Kancil (52), warga Dusun Krajan, dan Tosan (51) warga Dusun Persil Desa selok Awar-Awar Kecamatan Pasirian, Lumajang, Jatim Sabtu (26/9/2015).
Salim dipukuli dan disetrum dalam kondisi tangan terikat oleh gerombolan orang. Ia dilukai beberapa kali memakai senjata tajam namun tidak terluka.
Salim ambruk dan tewas setelah kepalanya dikepruk memakai batu, tetap dalam kondisi tangan terikat.
Sedangkan Tosan dipukuli beramai-ramai. Sempat melarikan diri memakai sepeda angin, tetapi tetap dikejar.
Tosan ditabrak memakai sepeda motor, dan barulah gerombolan orang itu menghentikan aksinya ketika ada orang yang melerai aksi tersebut.
Setidaknya hal ini bisa dilihat dari hasil investigasi empat NGO yang melakukan investigasi paska peristiwa itu berlangsung.
Empat NGO itu adalah Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jawa Timur, Laskar Hijau Lumajang, Kontras Surabaya, dan LBH Disabilitas Jawa Timur.
Dalam keterangan pers yang dikirimkan melalui surat elektronik, mereka menceritakan kronologi peristiwa yang menyebabkan melayangnya nyawa Salim Kancil, Sabtu (26/9/2015).
Hasil investigasi itu diberi judul Pasir Berdarah di Tanah Lumajang.
Peristiwa itu bermula saat Tosan didatangi segerombolan orang pukul 07.30 WIB.
Kurang lebih 40 orang dengan menggunakan kendaraan bermotor mendatangi rumah Tosan dengan membawa pentungan kayu, pacul, celurit dan batu.
Tanpa banyak bicara mereka lalu menghajar Tosan di rumahnya, Tosan berusaha menyelamatkan diri dengan menggunakan sepeda angin namun segera bisa dikejar oleh gerombolan ini.
Gerombolan itu kemudian menabrak Tosan dengan sepeda motor di lapangan tak jauh dari rumahnya.
Tak berhenti disitu, gerombolan ini kembali mengeroyok Tosan dengan berbagai senjata yang mereka bawa sebelumnya.
Tosan bahkan ditelentangkan di tengah lapangan dan dilindas motor berkali-kali.
Gerombolan ini menghentikan aksinya dan pergi meninggalkan Tosan setelah satu orang warga bernama Ridwan datang dan melerai.
Setelah selesai menghajar Tosan, gerombolan ini mengalihkan tujuannya menuju rumah Salim.
Saat itu Salim sedang menggendong cucunya yang baru berusia 5 tahun.
Mengetahui ada yang datang berbondong dan menunjukkan gelagat tidak baik Salim membawa cucunya masuk.
Gerombolan tersebut langsung menangkap Salim dan mengikat dia dengan tali yang sudah disiapkan.
Mereka kemudian menyeret Salim dan membawanya menuju Balai Desa Selok Awar-Awar yang berjarak 2 kilometer dari rumahnya.
Sepanjang perjalanan menuju Balai Desa, gerombolan ini terus menghajar Salim dengan senjata-senjata yang mereka bawa disaksikan warga yang ketakutan dengan aksi ini.
Di Balai Desa, tanpa mengindahkan bahwa masih ada banyak anak-anak yang sedang mengikuti pelajaran di PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini), gerombolan ini menyeret Salim masuk dan terus menghajarnya.
Di Balai desa, gerombolan ini sudah menyiapkan alat setrum yang kemudian dipakai untuk menyetrum Salim berkali-kali.
Tak berhenti sampai di situ mereka juga membawa gergaji dan dipakai untuk menggorok leher Salim.
Namun hampir semua siksaan memakai senjata tajam yang ditujukan ke tubuh Salim seolah tidak mempan.
Melihat kenyataan bahwa Salim tidak bisa dilukai dengan benda tajam dan keadaan balai desa yang masih ramai, gerombolan tersebut kemudian membawa Salim yang masih dalam keadaan terikat melewati jalan kampung menuju arah makam yang lebih sepi.
Di tempat ini mereka kemudian mencoba lagi menyerang salim dengan berbagai senjata yang mereka bawa.
Baru setelah gerombolan ini memakai batu untuk memukul, Salim ambruk ke tanah. Mendapati itu, mereka kemudian memukulkan batu berkali-kali ke kepala Salim.
Di tempat inilah kemudian Salim meninggal dengan posisi tertelungkup dengan kayu dan batu berserakan di sekitarnya.
Direktur Walhi Jawa Timur Ony Mahardika yang dihubungi Surya melalui sambungan telepon menegaskan bahwa Salim Kancil dan Tosan sedang berjuang menolak penambangan pasir besi di Pantai Watu Kecak Desa Selok Awar-Awar.
"Itu sudah kami cek juga ke lapangan, ada 12 orang yang sedang berjuang menolak penambangan. Mereka ingin mengadvokasi desanya agar berbasis ekowisata, tidak menjadi kawasan pertambangan," ujar Ony, Senin (28/9/2015).
Dalam 12 orang itu ada Salim dan Tosan. Rencana advokasi terhadap lingkungan desa oleh warga desa setempat mulai dilakukan sejak Januari 2015.
Namun sejak Mei 2015, mereka mulai mendapatkan ancaman dan intimidasi.
"Kami mengetahuinya karena mereka memberi laporan tentang intimidasi kepada kami. Dan ternyata saat ini intimidasi itu berujung maut".
"Kami minta penegak hukum mengusut tuntas dan tegas kasus yang telah terstruktur dan terencana ini," tegas Ony.
(sumber)
0 Response to "Mafia Tambang di Lumajang Mengikat dan Gergaji Leher Demonstran Tapi Tak Mempan"
Posting Komentar